Jumat, 07 Oktober 2011

YOU’RE YOUR COLOR

Ketika Anda berbelanja pakaian, warna apa yang menarik perhatian Anda pertama kali? Coba buka lemari Anda. Warna apa yang dominan di antara koleksi pakaian Anda? Perhatikan juga warna dinding kamar, sepatu yang biasa Anda kenakan, seprai tempat tidur, handuk, gantungan handphone, dasi, helm, dan semua barang pribadi Anda. Sebagian orang mungkin akan menjumpai warna yang berbeda-beda dari satu barang ke barang yang lain. Namun, sebagian lagi mungkin akan menemukan bahwa barang-barang mereka didominasi oleh warna-warna tertentu. Yang lebih menakjubkan, mereka seringkali tak menyadari hal tersebut ketika membeli barang-barang itu.

Warna telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Dari batu yang hitam keabu-abuan hingga pelangi dengan kombinasi warna yang kompleks. Di berbagai kebudayaan, warna memiliki ragam arti. Meski sekilas, warna hanya nampak sebagai variasi polesan, namun warna juga dipercaya bisa menyampaikan pesan dan kesan pada orang-orang yang melihatnya. Warna-warna pada pakaian Anda, apalagi jika sebuah warna hampir selalu dominan di pakaian atau barang pribadi Anda lainnya, bisa jadi menuntun orang lain untuk membaca karakter Anda. Warna pakaian Anda mungkin juga akan mempengaruhi bagaimana orang lain memperlakukan Anda karena kesan yang ditimbulkannya.

Ingin tampil dengan warna yang sesuai dengan situasi dan kondisi? Atau ingin mengetahui sedikit gambaran kepribadian diri sendiri atau orang lain dari warna yang disukainya? Berikut ulasan secara umum beberapa warna dan arti di baliknya:

1. Hitam

Warna hitam menunjukkan kekuasaan dan kekuatan. Warna ini memberikan kesan elegan dan modis. Warna hitam disebut pula sebagai warna yang abadi. Di dunia fashion, warna hitam menjadi warna yang populer karena dapat mengelabui mata dengan membuat seseorang nampak lebih langsing dari yang sesungguhnya. Hampir di seluruh dunia, warna hitam disepakati sebagai warna yang melambangkan kedukaan dan suasana murung. Warna ini juga mengimplikasikan ketundukan. Para pendeta mengenakan pakaian hitam untuk menunjukkan ketundukannya pada Tuhan. Beberapa ahli fashion mengatakan bahwa seorang wanita yang mengenakan pakaian hitam menunjukkan ketundukannya pada laki-laki. Warna hitam pada atribut yang dikenakan seseorang juga membuatnya nampak sebagai orang berkarakter jahat dan acuh. Warna ini sempat tak populer untuk digunakan dalam pakaian sehari-hari lantaran sangat identik dengan duka cita sehingga dianggap tabu. Namun, seiring dengan perkembangan tren, pakaian berwarna hitam menjadi semakin banyak dikenakan dalam aktivitas sehari-hari dan makin menonjolkan kesan modisnya. Warna hitam jarang digunakan secara dominan dalam ruangan karena warna ini member kesan sangat gelap dan menyesakkan nafas orang yang ada di dalamnya.

2. Putih

Warna putih merupakan warna netral dan mudah dipadu-padankan dengan warna-warna lain. Warna putih yang kerap digunakan pada busana pengantin merupakan simbol dari kesucian dan tiadanya dosa. Warna ini juga dihubungkan dengan sifat lugu, murni, dan spriritualis. Di dunia medis, warna putih menggambarkan sterilitas. Lingkungan yang berwarna putih dapat menenangkan dan menguatkan orang yang ada di sekitarnya. Namun, jika warna putihnya terlalu tajam, dapat memberikan kesan dingin dan membuat orang mudah marah.

3. Merah

Warna merah ialah warna yang paling kuat dan emosional. Warna ini merangsang detak jantung dan pernafasan menjadi lebih cepat. Merah melambangkan kekuatan, keberanian, rasa percaya diri, dan gairah. Merah dapat membangkitkan semangat dan menggambarkan kehangatan. Merah juga bermakna sempit dan mengikat. Warna ini juga merupakan warna yang ekstrim sehingga memiliki banyak arti, mulai dari perlambang cinta yang bergelora hingga kekerasan perang. Sifat yang ekstrim ini membuat pakaian merah kurang baik dikenakan saat Anda berada dalam proses negosiasi atau saat terjadi konfrontasi. Warna merah merupakan warna yang sangat mudah menarik perhatian. Selain itu, mengenakan pakaian berwarna merah dominan perlu kehati-hatian karena warna ini membuat tubuh pemakainya nampak lebih besar. Warna merah banyak dijumpai dalam dekorasi rumah makan karena warna ini dapat merangsang nafsu makan.

4. Merah Muda/Pink

Warna pink dikenal sebagai warna yang paling romantis sehingga warna ini umum menghiasi berbagai pernak-pernik dan ruangan saat perayaan valentine tiba. Warna ini disukai banyak perempuan karena menyiratkan kelembutan dan memberi efek tenang. Namun, ketenangan yang dihasilkan warna ini dapat membuat orang lemah dan berkurangnya energi.

5. Biru

Warna biru melambangkan kesetiaan atau loyalitas, ketenangan, perasaan sensitif, dan bisa diandalkan. Pakaian biru sesuai dikenakan saat wawancara kerja karena bisa menggambarkan loyalitas Anda pada pimpinan. Warna ini sering digunakan di kamar tidur karena warna biru memancing tubuh untuk memproduksi zat kimia yang menenangkan. Warna biru juga bisa membantu orang untuk meningkatkan produktivitasnya. Namun, biru juga bisa menggambarkan karakter dan kondisi dingin serta situasi penuh tekanan. Warna biru juga cenderung menekan nafsu makan sehingga warna ini jarang dijumpai digunakan sebagai dekorasi di restoran maupun warna makanan itu sendiri.

6. Hijau

Hijau merupakan warna yang menggambarkan alam. Warna hijau merupakan warna yang tenang dan menyegarkan serta warna yang paling ringan untuk mata. Namun, warna ini juga bisa mendorong seseorang menjadi pasif, mungkin karena efek ketenangan yang ditimbulkannya. Secara umum, warna hijau memiliki arti kesejukan, keberuntungan, dan kesehatan. Beberapa pengantin pada abad 19 mengenakan gaun berwarna hijau karena warna ini menunjukkan fertilitas. Sementara itu, warna hijau gelap menggambarkan karakter yang maskulin, konservatif, dan mengimplikasikan kekayaan.

7. Kuning

Warna kuning memiliki arti muda, gembira, dan imajinasi. Warna kuning mampu meningkatkan konsentrasi dan metabolisme tubuh. Warna kuning juga merupakan menandakan persahabatan. Banyak orang berpikir warna kuning adalah warna ceria dan memberi energi. Namun, warna kuning terang ternyata bisa memicu timbulnya rasa cemas.

8. Ungu

Warna ungu merupakan warna yang secara alami jarang ditemukan di alam. Warna ungu dianggap sebagai warna kaum bangsawan, serta dikonotasikan dengan kemewahan, kekayaan, dan kemodernan. Warna ungu juga tergolong warna yang feminin dan romantis. Namun demikian, karena warna ini jarang terdapat di alam, warna ungu dapat mengesankan kepalsuan. Warna ungu juga dapat memberi rasa nyaman namun dapat pula menggambarkan suasana hati yang misterius.

9. Cokelat

Berbeda dengan warna ungu, warna cokelat banyak terdapat di alam dan merupakan warna bumi sehingga warna ini menggambarkan kekokohan. Warna cokelat bisa jadi juga menggambarkan kesedihan dan melankolis. Dalam sebuah ruangan, warna ini bisa menciptakan perasaan aman dan intim. Laki-laki lebih cenderung mengatakan cokelat sebagai salah satu warna favorit mereka.

10. Abu-abu

Warna abu-abu menggambarkan keseriusan, sifat yang bisa diandalkan, dan stabil. Warna abu-abu pada pakaian juga dapat mengesankan pemakainya sebagai orang yang bertanggungjawab.

Jadi, warna pakaian apa yang akan Anda kenakan besok?

(dari berbagai sumber)

SIAPA YANG SEDANG BERBOHONG??

Berbohong? Siapa yang sepanjang hidupnya tak pernah sekalipun berbohong? Tolong jawab yang jujur, jangan bohong ya. Yup, bohong, berbohong, membohongi, dibohongi, pasti sudah akrab dalam kehidupan kita sehari-hari. Kebohongan selalu menyentuh interaksi dua orang atau lebih. Bahkan, banyak dari kita yang pasti pernah atau mungkin sering berusaha membohongi diri sendiri. Lalu, untuk apa berbohong? Mengingkari kenyataan pahit yang jauh dari harapan? Mungkin. Mencari simpati orang lain? Mungkin juga. Meningkatkan gengsi di mata orang lain? Hmm…mungkin. Atau karena kejujuran kerap menyakitkan? Bisa jadi.

Untuk alasan apapun, bohong tetap saja bohong. Semua pasti setuju, pada dasarnya bohong itu tidak baik. Tapi karena satu dan lain hal, berbohong terpaksa dilakukan. Ups, meski ada juga lho, bohong yang jadi kebiasaan, bohong sehari-hari. Saking seringnya berbohong, orang di sekitarnya atau bahkan dirinya sendiri, sulit membedakan mana yang benar dan mana yang kebohongan. Yuk, kita ulas sedikit tentang seluk beluk bohong.

Mengapa mesti berbohong?

Setidaknya, ada tiga faktor yang membuat seseorang berbohong:

1. Kepribadian

Ternyata, ada lho kepribadian tertentu yang membuat seseorang jadi hobi berbohong. Istilah pseudologia fantastica biasa digunakan untuk menyebut orang-orang yang melakukan kebohongan jauh lebih banyak dari orang kebanyakan. Sedangkan mythomania, adalah istilah untuk kecenderungan patologis untuk secara suka rela dan sadar berbohong dan membuat cerita khayalan. Para penderita mythomania memiliki kecenderungan yang sangat kuat untuk membuat cerita bohong pada orang lain namun bukan karena ingin membohongi. Mereka bercerita bohong lebih dikarenakan keinginan untuk mendapatkan perhatian yang lebih.

Berbeda dengan mythomania yang merupakan kecenderungan patologis, banyak ilmuwan psikologi sepakat bahwa memang terdapat beberapa kepribadian tertentu yang membuat si empunya suka berbohong, yaitu mereka yang cenderung memiliki kepribadian manipulatif atau lebih suka memanipulasi segala sesuatu, kepribadian yang memiliki kecenderungan besar memperhatikan penampilan diri baik fisik maupun psikis, dan kepribadian sociable atau lebih mudah berinteraksi dengan orang lain. Tapi, tentu saja, tidak semua orang yang memiliki kepribadian tersebut kemudian menjadi seorang ahli bohong lho. Jadi, jangan sembarang tuduh ya.

2. Konteks Sosial

Pernahkan Anda berada pada situasi yang tidak memungkinkan untuk berkata jujur sehingga mau tak mau Anda mesti berbohong? Ya, seperti itulah konteks sosial kadang memaksa seseorang untuk berbohong. Banyak sekali situasi yang membuat orang akhirnya berbohong karena kejujuran pada situasi tersebut mungkin tak berakibat baik. Salah satunya, pada situasi-situasi yang menuntut penghiburan. Misal, seorang kerabat ada yang sedang sakit parah. Anda tahu bahwa prediksi dokter usianya sudah tinggal menghitung hari. Ketika si kerabat itu berkeluh kesah pada Anda tentang apakah masih ada kemungkinan baginya sembuh, tentu Anda tak sampai hati bukan untuk dengan lugasnya mengatakan bahwa usianya tinggal hitungan hari?

3. Manfaat

Ya, asas manfaat juga mendasari keputusan seseorang untuk berbohong. Pada hakikatnya, manusia mana yang tak suka manfaat? Meski mungkin hanya manfaat jangka pendek sekalipun. Dengan mempertimbangkan manfaat yang akan diperoleh dari berbohong, seseorang mungkin akan terhindar dari reaksi atau situasi tak menguntungkan. Meski suatu saat nanti, kalau yang dibohongi tahu kebenaran yang sesungguhnya, tentu ia akan kena getahnya. Tapi, paling tidak, berbohong telah memundurkan saat tak mengenakkan itu datang. Ya, itung-itung mempersiapkan diri dulu.

Manfaat di sini, bisa manfaat untuk diri sendiri bisa juga untuk orang lain yang dikasihi, yang dilindungi, dan sebagainya. Manfaat untuk diri sendiri misalnya berbohong membuat seseorang terlindung dari kemungkinan kehilangan pekerjaan atau posisi tertentu, membuat dirinya lebih diterima dalam suatu komunitas, terlindung dari konflik, membuatnya nampak lebih mengesankan dalam penilaian orang lain, dan masih banyak lagi. Sementara manfaat untuk orang lain misalnya melindungi orang lain dari perasaan terluka, membangkitkan emosi positif orang lain yang tengah terpuruk, menyelamatkan orang lain, dan sebagainya.

Yang mana pun yang menjadi dasar Anda berbohong, baiknya jangan sering-sering berbohong ya. Terlepas dari alasan apapun, berbohong akan menyangkut reputasi Anda di mata orang lain lho. Jangan sampai orang-orang kehilangan kepercayaannya pada Anda karena kebiasaan Anda berbohong. Dilihat dari sisi orang yang menjadi korban kebohongan Anda, dibohongi itu rasanya seperti dibodohi lho, dipecundangi bahkan. Siapa sih yang suka dibodohi apalagi dipecundangi? Jadi, baiknya jujur saja. Kalau jujur terlalu berat, rasanya diam lebih baik bukan?

Lalu, untuk yang sudah jengah jadi korban kebohongan atau yang tak ingin dibohongi, ada tidak sih, cara-cara untuk mendeteksi apakah seseorang sedang berusaha mengecoh kita? Ini dia bahasa non verbal yang patut kita perhatikan untuk menangkis serangan si pembohong:

1. Perubahan Ekspresi Mikro

Perubahan ekspresi mikro adalah satu gejala yang sangat berguna untuk mendeteksi ada tidaknya kebohongan. Perubahan ekspresi mikro ialah perubahan ekspresi wajah yang hanya berlangsung sepersekian detik. Reaksi ini muncul di wajah segera setelah hadirnya emosi tertentu yang sulit disembunyikan. Misalnya, ketika Anda menanyakan sesuatu pada seseorang. Amati perubahan ekspresi pada wajah lawan bicara Anda. Jika Anda menangkap satu ekspresi saja, misalnya kening berkerut, yang segera diikuti ekspresi lainnya, misalnya tersenyum, bisa jadi dia sedang berbohong.

2. Ketidaksesuaian Antarsaluran (Interchannel Discrepancies)

Ketidaksesuaian antarsaluran adalah bentuk inkonsistensi antarpetunjuk non verbal dari berbagai saluran komunikasi yang berbeda di mana seseorang kesulitan untuk mengontrol semua saluran komunikasi tersebut pada satu waktu yang bersamaan. Misalnya, ketika seseorang berdusta, bisa saja ia mengatur ekspresi wajah atau mimik mukanya sedemikian rupa untuk mengecoh kita namun ia sulit untuk menatap mata kita.

3. Aspek Non Verbal dari Ucapan

Amati aspek non verbal dari ucapan lawan bicara Anda. Seseorang yang sedang berdusta nada suaranya kerap meninggi, cara bicaranya sering ragu-ragu, dan seringkali terjadi salah ucap.

4. Kontak Mata

Orang yang sedang bicara bohong, mengedipkan mata lebih sering disertai pupil mata yang melebar dibandingkan orang yang berkata jujur. Mereka juga sering kesulitan untuk mempertahankan kontak mata dengan lawan bicaranya atau malah sangat mampu, saat mencoba berpura-pura jujur dengan cara menatap langsung mata orang yang sedang dibohonginya.

5. Ekspresi Wajah Berlebihan

Ekspresi-ekpresi wajah yang berlebihan atau over, bisa juga dijadikan detektor kebohongan. Senyum yang lebih lebar dari biasanya dan kesedihan yang berlebihan misalnya. Contoh yang paling sering saat seseorang berkata ‘tidak’ ketika Anda mintai tolong dan kemudian ia menampilkan penyesalan yang luar biasa. Atau sebaliknya, ketika Anda memberitakan kesuksesan yang Anda raih, lalu seseorang tertawa lebar-lebar dan menampilkan ekpresi kebahagiaan yang teramat sangat mendengar kesuksesan Anda, bisa jadi yang sesungguhnya ia rasakan adalah sebaliknya.

Eits, jangan keburu-buru praktekinnya ya. Perlu latihan juga biar kita tak salah tafsir dengan bahasa non verbal yang orang lain tampilkan dan agar kita bisa lebih peka dengan perubahan-perubahan non verbal. Ingat lho, seringkali karena kita terlalu semangat mendekteksi apakah seseorang sedang berusaha membohongi kita atau tidak, kita malah jadi terfokus dengan kata-kata yang diucapkannya bukan pada bahasa non verbalnya. Padahal, bahasa atau ekspresi non verbal inilah yang sangat sulit untuk dikontrol kebanyakan orang dan oleh karenanya bisa jadi pendeteksi jitu kebohongan. Nah, kalau sudah mahir mengamati bahasa non verbal orang lain, nggak perlu lagi jadi korban kebohongan kan? Eh, satu lagi, kalau Anda sering dibohongi baik oleh satu orang atau banyak orang, introspeksi diri juga ya, barangkali mereka berbohong di depan Anda karena mereka tahu karakter Anda yang tak toleran dengan kenyataan yang pahit sekalipun itu sebuah kejujuran sehingga mereka terpaksa berbohong sekedar untuk menyenangkan hati Anda atau menghindari kemarahan Anda. Oke, selalu waspada dan jangan lupa introspeksi diri ya karena kebohongan tidak hanya terjadi karena ada niat dari pelakunya tapi juga karena adanya kesempatan, hehehe…

(dari berbagai sumber)

AKU MENULIS MAKA AKU ADA

Rene Descartes populer karena slogan hidupnya, yaitu ‘Aku berpikir maka aku ada’. Slogan sederhana namun menginspirasi manusia di dunia. Dengan berpikir, manusia menunjukkan eksistensinya. Tapi, berpikir saja tak cukup. Dunia perlu tahu. Bagaimana caranya? Ya, manusia perlu berkarya, dan menulis adalah salah satunya. Maka, jika pepatah mengatakan ‘Gajah mati meninggalkan gading’ bolehlah saya memodifikasinya menjadi ‘Manusia mati meninggalkan tulisan’.

Dunia ini dibangun dengan tulisan. Banyak peperangan berdarah yang diakhiri dengan damai melalui perjanjian tertulis. Bangsa ini juga memperoleh kemerdekaannya melalui selembar tulisan yang disebut naskah proklamasi. Dari tulisan pula, sebuah rezim bisa terguling, seperti pemerintahan orde baru yang menggeser orde lama berbekal Surat Perintah 11 Maret. Pun demikian dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Jagat raya ini akan tetap gelap gulita sekiranya tak ada publikasi tertulis karya Thomas Alfa Edison dengan penemuan lampu pijarnya. Penyelidikan ilmiah mengenai benua yang hilang, Atlantis, juga dimulai dari tulisan Plato tentang perjalanannya ke sebuah daerah yang tak bisa diseberangi yang konon kehidupan di dalamnya seperti sebuah surga dan merupakan tempat lahirnya peradaban. Tanpa tulisan, sihir kisah cinta Romeo dan Juliet karya William Shakespere juga tak bisa abadi melintasi zaman. Tulisan pula yang mengantarkan J.K. Rowling menjadi salah satu orang paling kaya di dunia melalui novel Harry Potternya yang sempat ditolak delapan penerbit.

Menulis sudah diajarkan sejak bangku sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Sayang, menulis kerapkali hanya menyentuh permukaan dari keseluruhan maksud menulis itu sendiri. Menulis bukanlah sekedar proses fisik goresan tangan yang tanpa makna. Tulisan adalah penunjuk identitas diri. Anda adalah seperti apa yang Anda tulis. Ketika menulis, ide tulisan bisa jadi sama antara orang yang satu dengan yang lain. Namun, gaya penulisan tidak demikian. Gaya penulisan Anda hanyalah milik Anda. Meski teknik penulisannya sama dengan orang lain, gaya penulisan tidak mungkin sama karena gaya penulisan Anda adalah karakter pribadi Anda yang mewujud dalam bentuk tulisan.

Menulis juga bisa dianggap sederhana namun bisa juga kompleks. Dikatakan sederhana karena siapa sih yang tak bisa menulis? Selama seseorang melek huruf, pasti ia bisa menulis. Dikatakan kompleks karena menulis membutuhkan kemampuan untuk membangun jalur yang searah antara pikiran dan hati dengan tangan. Sebuah koordinasi yang luar biasa. Semakin baik karya yang ingin dihasilkan, pasti harus semakin mahir pula kemampuan untuk mengkoordinasikan tiga hal tersebut, dan ini akan tercapai seiring dengan latihan dan pengalaman. Masalahnya, banyak orang yang tergagap belajar menulis sebuah karya setelah usia kelewat dewasa bahkan tua, setelah pensiun dari tempat kerja atau setelah karya tulis menjadi salah syarat kenaikan jabatan. Perasaan tak berbakat sering menimbulkan keragu-raguan saat hendak menulis dan ketiadaan waktu sering dijadikan alasan urungnya menulis.

Bagaimana Cara Menjadi Penulis yang Baik?

Latihan menulis sebuah karya sebenarnya bisa dimulai sejak usia anak-anak dalam bentuk karya yang paling sederhana sekalipun, seperti curahan hati dalam buku diari, menulis surat atau menulis ucapan selamat ulang tahun. Meski sederhana, dari sini anak mulai belajar menemukan kata yang tepat dan merangkainya menjadi satu kesatuan yang bermakna. Semakin awal seseorang belajar menulis, diharapkan semakin awal pula ia mampu menghasilkan karya tulis berkulitas tinggi. Kalau soal waktu, sebenarnya menulis tak selalu membutuhkan banyak jam dan tempat yang tenang. Jika gudang ide sudah terisi maka menulis sebuah karya bisa berlangsung secara kilat seperti mengendarai mobil di jalan tol.

Meski pada akhirnya, menulis sebuah karya merupakan pilihan pribadi, acungan jempol deh untuk para orang tua yang memfasilitasi putra dan putrinya untuk belajar menulis sejak usia dini, entah menulis pengalaman-pengalaman menariknya, cerita pendek atau puisi. Tapi, ini bukan berarti tak ada kesempatan untuk yang lebih dewasa belajar menulis. Pertanyaan yang muncul ialah, bagaimana caranya menjadi penulis yang baik? Jika untuk menjadi seorang pembicara yang handal maka perlu menjadi pendengar yang baik terlebih dahulu, maka untuk menjadi penulis yang baik perlu menjadi pembaca yang baik pula. Bisa dibilang, menulis dan membaca adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Membaca dapat memicu kreativitas. Buku mengajak pembacanya membayangkan dunia beserta isinya, lengkap dengan segala kejadian, lokasi, dan karakter. Bayangan yang melekat dalam pikiran, membangun sebuah bentang ide dan perasaan yang menjadi dasar lahirnya ide-ide kreatif.

Bentangan ide dan perasaan inilah yang menjadi modal menulis di kemudian hari. Semakin banyak bahan yang dibaca berarti akan semakin kaya pula ide-ide yang mengisi pikiran dan semakin beragam gambaran perasaan yang dimiliki sehingga ketika saat menulis tiba, gagasan-gagasan akan mengalir lebih lancar diimbangi dengan refleksi rasa yang lebih kuat sehingga tulisan tidak terasa garing dan asal tempel tanpa membentuk sebuah kesan yang mendalam bagi pembacanya dan gagal menyampaikan pesan yang sesungguhnya ingin diutarakan penulis kepada pembaca.

Banyak membaca tak hanya berlaku bagi orang dewasa yang ingin belajar menulis. Anak-anak pun perlu dibiasakan. Saat berusia empat tahun, anak berada dalam periode suka meniru perbuatan orang tuanya tanpa terkecuali. Jadi, jika orang tua suka membaca, anak juga akan melakukan hal yang sama. Jika sejak kecil anak sudah dibiasakan dengan bacaan misalnya sastra, ini sama halnya dengan mendekatkan anak dengan kehidupan manusia. Membaca karya sastra seperti cerpen, puisi, dan lain-lain membuat seseorang belajar banyak hal termasuk belajar memuliakan perasaan. Selain bacaan-bacaan fiksi, mendekatkan anak pada bacaan nonfiksi juga akan mengasah ketajaman rasio dan daya analisis anak di samping tentunya semua bacaan akan memperkaya khasanah wawasan anak selama bacaan tersebut sesuai dengan umurnya.

Manfaat Menulis

Terlepas dari jenis tulisan apa yang dihasilkan, apakah fiksi atau non fiksi, dan apakah tulisan akan dipublikasikan atau hanya disimpan untuk diri sendiri, menulis memberikan banyak manfaat baik untuk anak-anak, remaja, maupun dewasa, di antaranya:

1. Menulis membantu kita menemukan siapa diri kita sebenarnya.

2. Waktu menulis, kita mendengar suara unik yang hanya kita miliki.

3. Sewaktu menulis, kita mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang kita punya selain juga menemukan pertanyaan baru untuk dipertanyakan sehingga ilmu kita akan semakin meningkat.

4. Menulis akan mengembangkan kreativitas.

5. Kita dapat berbagi dengan orang lain melalui tulisan.

6. Menulis memberi kita wadah untuk menyalurkan rasa marah, takut, sedih, serta perasaan-perasaan lain yang membuat kita terluka sehingga menulis bisa membantu kita menyembuhkan luka-luka emosional yang kita alami.

7. Menulis membantu kita menyatukan pikiran dan perasaan serta mengungkapkannya dalam kata-kata yang runtut dan mudah dipahami orang lain.

8. Jika dipublikasikan, menulis bisa menjadi sumber penghasilan.


Jadi, jika Anda mempunyai ide-ide cemerlang jangan ragu untuk menuangkannya dalam tulisan. Begitu ide itu muncul, segeralah mendokumentasikannya dalam tulisan tangan atau di komputer sebelum ide itu ditenggelamkan oleh mood yang berubah. Jika ide, pengetahuan atau pengalaman itu bermanfaat untuk orang lain, jangan segan untuk mempublikasikannya entah dalam bentuk buku atau publikasi yang lain dan jadikan tulisan Anda sebagai bukti eksistensi Anda. Mungkin, orang-orang di seluruh dunia tengah menunggu untuk belajar dari ide, pengetahuan, dan pengalaman Anda.

Boleh saja, orang-orang di luar sana tak mengenal Anda secara pribadi. Biar saja, jarak ribuan bahkan jutaan kilometer memisahkan Anda dari orang lain. Tapi, biarkan karya Anda dikenal dan diingat ribuan orang di luar sana, karya ilmiah Anda dijadikan bahan referensi yang mengantarkan mereka memperoleh gelar akademis atau karya fiksi Anda dijadikan penghibur hati yang lara. Dengan begitu, Anda akan menjadi sosok yang jauh di mata namun dekat di hati banyak orang di berbagai pelosok negeri dan di berbagai belahan dunia. Sulit? Tidak juga, Anda cukup memulainya dengan slogan hidup, ‘Aku menulis maka aku ada’.

(dari berbagai sumber)

Kamis, 18 November 2010

SEJUTA NYALI UNTUK SATU PERUBAHAN

RESENSI BUKU

SEJUTA NYALI UNTUK SATU PERUBAHAN

Judul : Saya Nujood, Usia 10 Tahun dan Janda
Jenis Buku : True Story
Penulis : Nujood Ali bersama Delphine Minoui
Penerjemah : Lulu Fitri Rahman
Penerbit : Pustaka Alvabet
Tahun Terbit : 2010
Halaman : 236

Buku ini mengisahkan sekelumit perjalanan hidup dari seorang gadis belia, Nujood Ali, yang dipaksa oleh ayahnya untuk menikah dengan seorang lelaki yang usianya tiga kali lipat dari usia sang gadis. Pernikahan yang secara paksa merenggut keceriaan masa anak-anaknya. Pernikahan yang membuat Nujood mesti tinggal bersama suami dan keluarganya di sebuah desa terpencil di pedalaman Yaman. Berbagai bentuk penganiayaan fisik dan emosional datang bertubi-tubi dalam kehidupan Nujood, baik dari si ibu mertua maupun oleh suaminya sendiri. Keperawanannya direnggut oleh sang suami yang pernah berjanji untuk tak menyentuhnya sebelum ia cukup umur. Keperawanan yang direnggut saat Nujood tak sepenuhnya mengerti arti keperawanan dan malam pertama itu sendiri. Yang ada hanyalah rasa sakit di antara kedua kakinya dan menyisakan trauma yang panjang dalam hidupnya di kemudian hari.

Beban derita yang dirasa terlalu berat untuk dipikul di pundak-pundak kecilnyalah yang pada akhirnya membulatkan tekad sang tokoh utama ini untuk melarikan diri dari rumah, dari suami dan keluarganya, menginjakkan kakinya untuk yang pertama kali di sebuah gedung pengadilan. Sebuah keputusan amat berani yang dilakukan oleh anak seusianya, keputusan yang perlahan namun pasti, memberikan setitik demi setitik cahaya terang dalam hidupnya yang nyaris gelap lantaran kekolotan sistem di sebuah negeri yang sebagian gadis-gadisnya lazim menikah di bawah umur. Keputusan yang tak pernah ia sesali, keputusan itu pulalah yang sedikit demi sedikit mampu menggerus rasa trauma yang menghantui hati mungilnya dan mengembalikan nuansa anak-anaknya, bahkan mengilhaminya untuk menggantungkan cita-cita setinggi langit, sesuatu yang langka untuk kebanyakan gadis Yaman.

Hebatnya, nyalinya yang sudah teruji dalam mendobrak sebuah sistem kolot di negeri di mana ia dilahirkan itu tak hanya mengubah kehidupannya saja, namun juga kehidupan gadis-gadis lain yang dirajam masa anak-anaknya oleh pernikahan di bawah umur yang mengatasnamakan adat istiadat dan kehormatan keluarga. Keberanian Nujood dalam menentang adat istiadat dan dukungan luar biasa dari sejumlah orang yang terus mencoba mengembalikan Nujood ke dalam fitrahnya sebagai gadis belia yang sangat mendambakan saat-saat bermain-main dengan sebayanya ketimbang memanggul beban sebagai seorang isteri yang harus melayani suami, telah menarik perhatian dunia internasional. Nujood, gadis kecil di pelosok Negeri Yaman mekar layaknya selebritis baru.

Mungkin, buku ini tak akan jadi menarik jika hanya sekedar mengangkat kisah pernikahan di bawah umur yang dialami Nujood. Pasalnya, kisah semacam Nujood ini sebenarnya begitu banyak terjadi, mungkin hampir di seluruh belahan dunia, juga di negeri kita tercinta ini, Indonesia. Namun, buku ini menjadi sebuah inspirasi besar yang menggugah nurani lantaran tak banyak dari para korban pernikahan di bawah umur yang berani menentang dan memperjuangkan kembali asa akan cita-cita yang mulai memudar, dan Nujood adalah salah satu pemberani itu.

Banyak manfaat yang bisa dipetik dari membaca buku ini. Meski diungkap dengan gaya bahasa yang sederhana, disisipi dengan beberapa kata asing, penulis nampaknya malah berhasil memberikan gambaran yang nyata akan kepolosan pola pikir dan perasaan anak berusia 10 tahun. Bagi pembaca yang memiliki keluarga atau kerabat yang mengalami pemaksaan pernikahan di bawah umur, kisah yang dirangkum dengan apik ini mungkin bisa dijadikan referensi bagus guna mencegah terulangnya kembali pernikahan-pernikahan serupa di kemudian hari atau mungkin membantu para korban pernikahan itu untuk kembali mendapatkan kehidupannya yang telah direnggut paksa oleh orang-orang dewasa yang mestinya jadi pengayom mereka dan berdiri di garda terdepan dalam mengasuh dan menjaga mereka dari segala bentuk eksplorasi baik yang nyata nampak maupun yang tersembunyi di balik kolotnya adat istiadat .

Sementara bagi yang belum pernah mengalami atau mengetahui adanya kisah demikian, buku ini dapat dijadikan pembuka mata, penambah wawasan, dan tentunya pembangkit rasa syukur yang tak habis-habisnya bahwa kita tak dilahirkan dan dibesarkan dalam adat istiadat yang demikian hingga sampai hari ini, saat kita bertumbuh semakin dewasa, kita tak kehilangan satu momen pun dalam masa anak-anak kita dan kita masih bisa menghimpun kembali kenangan-kenangan tentang masa anak-anak kita yang telah lalu dalam sebuah bingkai kenangan yang indah, bukan bingkai trauma yang menguras air mata.



BIARKAN AKU MEMILIH

RESENSI BUKU
BIARKAN AKU MEMILIH

Judul : Biarkan Aku Memilih
Jenis Buku : True Story
Penulis : Hartoyo bersama Titiana Adinda
Penerbit : Elex Media Komputindo
Tahun Terbit : 2009
Halaman : 134

Biarkan Aku Memilih merupakan judul dari sebuah buku yang menceritakan mengenai pengakuan seorang gay di tanah rencong yang coming out alias telah berbicara jujur mengenai orientasi seksualnya kepada publik. Kisah yang dikupas tuntas dalam buku ini bukanlah sebuah kisah fiksi atau dongengan semata, melainkan kisah nyata, kisah hidup seorang Hartoyo yang sejak kecil telah merasakan getar-getar aneh dengan sesama lelaki. Getaran aneh yang tak lekang oleh waktu dan terus terbawa hingga ia mulai beranjak makin dewasa. Ia sendiri tak tahu pasti mengapa hal itu bisa terjadi. Sebuah pengakuan yang jamak terdengar dari penuturan banyak pecinta sesama jenis lainnya.

Hartoyo dilahirkan di Binjai, Sumatra Utara dan menjadi sebuah kebanggaan tersendiri baginya hingga ia bisa menamatkan studinya di sebuah universitas negeri di Aceh. Kebanggaan karena bukan hal mudah untuk seorang Toyo (nama panggilan Hartoyo) bisa ikut menimba ilmu di bangku kuliah di kampus itu, butuh perjuangan dan pengorbanan tentunya. Namun, Aceh tak hanya meninggalkan kenangan kebanggaan semata. Di Aceh pulalah ia mendapat perlakuan yang tidak manusiawi dari masyarakat dan kepolisian lantaran orientasi seksualnya yang tak seperti kebanyakan orang yang dipandang sebagai ‘normal’, dan Toyo diletakkan di kutub seberang sebagai ‘abnormal’ karena ia penyuka sesama jenis, sesama pria.

Namun, Toyo tetaplah Toyo. Kekerasan yang ditimpakan padanya tak serta merta membuatnya ‘jera’ dan menyembunyikan orientasi seksualnya yang sesungguhnya di balik topeng heteroseksualitas. Ia tetap setia pada pilihan hidup yang telah diambilnya, menjadi seorang gay, mengungkapkannya dengan jujur pada siapapun yang ingin mengetahuinya, dan tentu saja, ia tetap berpegang teguh pada komitmennya untuk berjuang demi nilai-nilai kemanusiaan yang kerap terasa jauh dari kaum minoritas dan terus menunggu datangnya keadilan atas penyiksaan yang pernah dialaminya dulu.

Terlepas dari pro dan kontra yang selalu mengiringi perjalanan hidup kaum homoseksual dan apakah detil kisah yang dipaparkan dalam buku ini mampu menguras air mata pembacanya atau tidak, buku ini telah layak untuk menambah referensi kita mengenai serba-serbi hidup dengan berbagai kisah dan lakon-lakon yang diperankan. Mungkin, buku inipun tak diluncurkan dalam rangka menjaring siapa yang setuju atau tidak setuju dengan adanya kaum homoseksual, yang nyata kisah ini mengajarkan tentang tingginya makna dalam sebuah kejujuran. Tak mudah memang menjalani hidup menuruti peran yang telah dipilih seperti pilihan seorang Toyo, menjadi homoseksual, entah gay entah lesbian, yang terang, mengungkapkan jati diri termasuk orientasi seksual kepada publik dengan sejujur-jujurnya adalah jauh lebih sulit. Apalagi orientasi seksual yang dilabel sebagai ‘abnormal’ di masyarakat. Masih pula jika beradu dengan ketatnya norma-norma, misalnya norma agama seperti yang ada di Aceh.

Sedikit ulasan ini tak akan mengungkit masalah orientasi seksual itu sendiri. Tak akan pula mendebat mengenai heteroseksual, homoseksual, biseksual, transeksual, dan sebagainya. Namun lebih pada apresiasi atas kejujuran Toyo atas jati dirinya dan ucapan terima kasih dari pemilik blog ini atas pelajaran yang tak secara eksplisit ingin disampaikan kepada para pembacanya, yaitu agar selalu belajar dan berusaha untuk menghargai orang-orang di luar sana yang ‘berbeda’ dari kita dalam berbagai hal, orientasi seksual adalah salah satunya.

Senin, 10 Mei 2010

HIDUPMU TAK UNTUK BERHENTI

Siapa lagi yang hendak menguatkan hatimu, jika bukan dirimu sendiri…
Siapa lagi yang dapat meneguhkan jiwamu, kalau bukan kamu seorang…
Tak ada yang salah jika kau memiliki seorang belahan jiwa…
Seseorang yang kau tempatkan di tempat yang tertinggi di puncak hatimu…
Seseorang yang kedatangannya selalu kau nanti-nanti…
Seseorang yang kepergiannya kau tangisi dan sesali…
Yang salah hanyalah…
Manakala kau mati, saat dia tak ada di sampingmu…
Karena kau…
Tidak harus menjadi lemah dengan kehilangannya…
Tak juga perlu membuktikan kesungguhan hatimu dengan membiarkan separuh jiwamu mati bersama dia yang pergi…
Meninggalkanmu…
Sendiri…
Jalanilah hidupmu…
Sebagaimana yang seharusnya berjalan…
Cukup simpan dia dalam relung hatimu yang terdalam…
Dan temuilah, dan berbincanglah dengannya jika kau membutuhkan…
Karena hidup…
Harus tetap berjalan…
Dengan atau tanpa orang yang kau sayangi…

(Sedikit kata-kata untuk orang-orang yang membutuhkannya, yang merasa dirinya cocok dengan tulisan di atas. Tetap semangat!!)

SATU FAKTA DI ATAS LAJU BUS EKONOMI

Seorang wanita, kalau boleh saya taksir, usianya tak lebih dari empat puluh tahun, naik ke bus jurusan Jogja - Solo yang saya tumpangi. Hari masih siang saat itu. Panas teriknya matahari semakin membuat panas udara di dalam bus ekonomi itu. Saya duduk di urutan ke tiga dari depan.

Kembali pada wanita itu. Wanita itu berdiri dan terdiam beberapa saat, tak jauh dari kursi sopir. Awalnya, saya pikir, wanita tersebut juga seorang penumpang sama halnya dengan saya atau penumpang lainnya. Tapi, sesaat kemudian, wanita tersebut nampak mengeluarkan sesuatu dari dalam tas pinggang yang dikenakannya. Setumpuk amplop kecil rupanya. Kemudian, ia segera membagi-bagikan satu demi satu amplop tersebut kepada setiap penumpang bus, dari kursi paling depan dan kemudian terus ke belakang. Hingga sesaat kemudian, giliran saya yang mendapat amplop itu. Wanita itu meletakkan amplop di atas pangkuan saya. Amplop putih, kecil, dan ketika saya buka dan saya lihat isinya, ternyata tak ada apa-apa di sana alias kosong.

Awalnya, saya sempat bingung. Apa maksud wanita itu? Pun pula,wanita itu tak mengucapkan kata-kata sedikitpun. Kemudian, saya berinisiatif untuk mengamati amplop tersebut. Mungkin, ada sesuatu di sana. Ternyata, di salah satu sisi amplop tersebut, terdapat tulisan, “MOHON SUMBANGANNYA UNTUK MAKAN DAN KEBUTUHAN SEHARI-HARI.” Tulisan yang digoreskan dengan tinta pulpen warna biru. Semua dengan huruf kapital. Ooo… baru saya mengerti. Rupanya, wanita tersebut sedang meminta-minta uang.

Terbersit dalam pikiran saya, kenapa wanita tersebut tidak berbicara barang sepatah dua patah kata sebelum membagikan amplop? Seperti yang biasa dilakukan para pengamen, penjual asongan, atau peminta-minta sumbangan lainnya di bus ekonomi. Oh, mungkin wanita itu tuna wicara. Begitu jawaban yang paling nampak masuk akal di pikiran saya.

Saya nyaris saja memasukkan lembaran uang ribuan ke dalam amplop yang tadi dia berikan. Tapi, saya kemudian mengurungkannya. Kenapa? Sesaat sebelum saya memasukkan uang ke dalam amplop, wanita tersebut telah kembali ke barisan kursi paling depan dan meminta kembali amplop-amplop tersebut satu per satu. Sambil mengambil amplop, wanita tersebut berkata, “Terima kasih… terima kasih…,” begitu seterusnya.

Itulah yang menggelitik benak saya dan mendorong saya untuk memasukkan kembali lembaran uang ribuan ke dalam kantong celana. Jujur, baru kali ini saya bertemu dengan orang yang meminta-minta uang tapi tanpa bicara apapun sebelumnya, padahal orang tersebut juga bukan seorang tuna wicara.

Beberapa saat sebelum wanita itu masuk ke dalam bus dan memulai aksinya membagikan amplop, seorang lelaki paruh baya telah terlebih dahulu mengamen meski suaranya terdengar tak jelas karena rupanya ia mengalami gangguan dengan suaranya sehingga yang menonjol hanyalah bunyi-bunyi tutup botol yang disusun sedemikian rupa, di antara sesaknya penumpang. Ada pula sekelompok pengamen yang terdiri dari lima orang, yang menyanyikan dua lagu dengan iringan beberapa alat musik. Cukup lengkap, iramanya juga cukup teratur, dan yang pasti cukup menghibur untuk ukuran musisi jalanan. Tapi, bagaimana dengan wanita tersebut?

Pertemuan dengan wanita pembawa amplop itu memaksa saya untuk merenung. Sesaat setelah wanita itu meminta kembali amplopnya dari saya, saya berpikir. Bahkan sampai saat ini, setelah berbulan-bulan kemudian, pikiran tersebut masih kerap muncul, hingga saya menuliskannya di blog ini. Apakah hidup memang sudah sedemikian sulitnya hingga tidak ada lagi pekerjaan lain yang dapat dilakukan untuk mendapatkan makan? Hingga beberapa orang (salah satunya wanita pembawa amplop itu) menjadi begitu putus asa, kemudian memilih menjadi peminta-minta yang dengan mudahnya membagi-bagikan amplop kosong dan berharap dermawan untuk mengisinya?

Atau sebenarnya, beberapa orang memang telah sedemikian malasnya hingga enggan untuk bekerja sedikit lebih keras untuk mencari uang tanpa harus menjadi peminta-minta? Apakah saking malasnya, hingga ia memilih untuk menggantungkan hidupnya begitu saja pada orang lain?

Semoga pikiran saya yang ke dua adalah salah. Semoga, kejadian seperti di bus itu bukanlah suatu kondisi yang akan terus begitu tanpa bisa diubah. Saya hanya tak yakin, jalan mencari uang seperti yang wanita tersebut lakukan, seberapa banyakpun uang yang bisa ia peroleh setiap harinya, akan dapat membuat hidupnya atau hidup keluarganya menjadi lebih baik. Karena, ini berkaitan dengan mind set mereka. Ketika pikiran orang telah diformat menjadi malas, jangankan bekerja keras untuk memperoleh uang dengan pekerjaan yang lebih baik demi meningkatkan taraf hidup menjadi lebih baik pula; diberikan segudang fasilitas pun, orang malas tetap sulit menjadi lebih rajin tapi malasnya malah semakin menjadi. Semoga saja, wanita tersebut mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari pada yang ia lakukan saat saya bertemu dengannya. Semoga…